Mereka bilang "Never judge a book from its cover". Jangan pernah menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Tapi entah kenapa dalam keseharian - yang mungkin entah tanpa sadar - orangtua membela sekaligus menelikung pepatah Inggris tadi. Ya, kisah my book lah contohnya.
Ini adalah kisah klasik dalam lingkaran keluarga kami. Bahkan famili yang terhitung kerap hadir di acara arisan keluarga mungkin tahu kisah ini. Konon detik-detik menjelang aku dilahirkan ke muka bumi, Bapak adalah orang yang paling tegang sedunia. Aku tak tahu apakah mereka - kedua orangtuaku itu - sudah tahu akan menyongsong kehadiran anak perempuan mereka. Anak perempuan pertama dalam keluarga. Dan yang terakhir jelasnya. Aku lupa bertanya pada Ibu apakah dulu Ibu di-USG untuk mengintip jenis kelaminku dalam rahimnya. Mungkin nanti akan kutanyakan. Yang kutahu Ibu pernah bercerita tentang mimpi mandi di jeding depan rumah Mbah di Jawa, dan tiba-tiba ada seekor ayam babon hitam terbang melintasi atas kepalanya. Waktu hamil ketiga kakak laki-lakiku, Ibu bermimpi tentang ikan. Entah itu memancing ikan, atau mendapat ikan. Dan hanya ikan, bukan ayam babon. Mungkin itu perlambang, isyarat kiriman Tuhan.
Sebentar lagi Shubuh menjelang, dan Bapak masih mondar-mandir menunggu kabar dari dalam ruang bersalin. Lantas terdengar tangisan bayi, dan seorang suster berteriak "Nyonya Rahayu!" Kata Bapak, seorang bapak yang duduk di sebelahnya ikut berkesiap bangun dari duduknya. Keduanya menghadap suster. Bingung. Ternyata adalah Nyonya Sri Rahayu. Ibuku yang melahirkan, dan itu adalah tangisku. Dan ternyata istri si bapak itu bernama Rahayu, tanpa Sri. Ia menggamit tangan Bapak, mengucap selamat, dan kembali terpekur dalam jam-jamnya yang panjang. Secepat kilat Bapak masuk ke ruang bersalin, menyongsongku. Dan di sinilah awal perkara hidung dimulai.
Konon sang suster berkata "Anaknya perempuan pak.." (Mungkin Bapak menjawab "Alhamdulillah.."). Lantas suster kembali berkata "Tapi pesek.." Tak tahu lah aku apa yang benar-benar sesungguhnya terjadi di dalam kamar yang mungkin masih berbau anyir waktu Jumat masih belum benar-benar terang tanah itu. Tapi sejak kecil aku selalu dibesar-besarkan hatinya - sewaktu kakak-kakakku mengolok perkara hidung pesek ini - dengan kisah heroik jawaban Bapak nan legowo dan penuh keanggunan itu "Nggak apa-apa pesek.. Yang penting udah perempuan". Dan itulah senjata andalanku menghadapi segala olokan dunia perkara hidungku: "Nggak apa-apa pesek, yang penting perempuan". Mungkin lain cerita kalau hari itu yang terlahir adalah seorang bayi pesek laki-laki.
Rupanya memang takdir Tuhan bahwa anak perempuan lebih kuat daripada laki-laki. Mungkin tak hanya secara fisik, tapi juga mental. Terbukti tidak hanya perkara hidung yang Ia anugerahkan kepadaku, tapi juga perkara nomor 2: Jidat.
Aku mungkin tak akan pernah tahu seperti apa itu jidat jenong kalau bukan orang lain yang memberitahu. Orang lain yang tak lain adalah keluargaku sendiri. Menjadi anak termuda (karena kalau urusan badan aku bukan yang terkecil) adalah tidak mudah. Seakan ada perjanjian tak tertulis bahwa kakak-kakakmu akan diizinkan mengolok-olok, tanpa kau bisa membalas demi memuaskan hatimu, selain pada akhirnya menangis. Selalu diakhiri dengan tangisan. Dan omelan Ibu kepada para bujang tak tahu diri itu, yang sesungguhnya - bisa jadi - adalah kemenanganku.
Kalau perkara hidung mereka mengolokku dengan sebutan "pesek", lain halnya dengan perkara jidat. Aku mendapat julukan "Jendul". Kata yang sampai sekarang aku tak tahu siapa penemunya. Dan mungkin tak perlu tahu, karena aku akan membencinya seumur hidupku.
Karena "Jendul" inilah wajahku selalu dihiasi seonggok potongan rambut yang lurus dan canggung - seperti seikat sapu ijuk - bernama: Poni. Dari kecil sampai entah umur berapa aku sampai lupa, aku selalu berponi. Potongan rambut yang berfungsi menutup jidat yang jenong tadi. Mungkin waktu dilahirkan malahan aku sudah berponi. Ibu mau tak mau lantas harus pandai dan terampil mencukur poni demi anak perempuan satu-satunya yang berjidat jenong ini. Sampai pada satu sore hasil karya bertahun-tahun itu luluh lantak disergap komentar Encik salon langganan Ibu. Sesungguhnya aku hanyalah sang pengantar yang ikut ibunya pergi ke salon untuk potong rambut. Lantas Ibu "titip" potongkan poni untukku sekalian. Dari situ awal teori potong poni ala Ibu terbantahkan. Begini kata si Encik pemilik salon, yang sudah khatam urusan potong poni: "Kalau potong poni, ambil sebagian rambut di tengah saja. Tarik ke atas, lalu potong. Sisir menutupi jidat, lantas nanti baru dirapihkan ujung-ujungnya sampai lurus rata". Sebelum sore itu, Ibu selalu memotong poniku dengan cara membagi rambut menjadi dua bagian, seperti membelah semangka. Sisir bagian pertama ke belakang, dan bagian kedua ke depan. (Betul, mukaku betul-betul tertutup rambut waktu itu. Bernafas sedikit berarti bergerak. Dan aku tidak semestinya bergerak-gerak, atau nanti potongan Ibu menjadi mencong dan tidak lurus. Potong poni bukanlah saat yang menyenangkan sama sekali). Lantas bagian yang depan ini akan dipangkas seluruhnya. Habis perkara. Maka terkadang aku akan mendapatkan poniku sama banyaknya dengan rambut panjangku di bagian belakang. Kalau dikepang satu ke belakang, aku akan sangat mirip dengan prajurit Cina tempo dulu di film-film kungfu. Hanya saja bagian depan kepala mereka botak, tanpa poni.
Semua itu hanya karena saudara-saudaraku yang hadir lebih dulu memanggilku Jendul. Mungkin kalau mereka tidak membesar-besarkan perkara jidat ini, aku tak harus menghabiskan hidupku dalam derita cukur poni. Bahkan semua foto ijazahku berponi. Salah satunya malah menjadi tragedi, karena Ibu terlalu pendek mencukur si poni. Itu yang terjadi kalau kau mencukur poni dalam keadaan basah. Ketika kering, rambutmu akan beringsut naik dan sulit sekali untuk diajak turun barang satu-atau-dua inchi padahal sudah kau sisir dengan sisir yang bergigi rapat berkali-kali.
Dan begitulah tahun-tahun kulalui dengan poni dan pembelaan: "Biarin pesek, yang penting perempuan". Orangtua tidak menjudge bukuku yang pesek, tapi mereka juga mengajarkan menutupi bukuku yang lainnya dengan poni. Hmm, agak membingungkan memang. Seandainya saja jidat jenong juga bisa dijawab dengan "Nggak apa-apa jenong, yang penting perempuan". Tapi nampaknya membawa-bawa gender untuk urusan jenong tidak cukup menjamin kepercayaan publik. Atau memang kau tidak sepantasnya memakai satu pembelaan untuk dua urusan yang berbeda. Be creative! Itu kenapa aku harus cukup puas bercukuran poni untuk waktu yang cukup lama.
Dua perkara ini baru kali ini berani kutuliskan dalam rangkaian kata-kata. Mungkin karena dulu menganggap mereka adalah aib yang memalukan yang pernah Tuhan anugerahkan dalam hidupku. Atau mungkin baru sekarang berani mengakui bahwa hidup itu harus berani menanggung malu. Karena terkadang hal-hal yang memalukan itu yang membuat hidupmu lebih hidup. Karena darinya dirimu belajar. (Belajar menerima kekurangan - kekurangmancungan, lebih tepatnya - dan belajar mencukur poni). Apapun alasannya, semua sudah kuceritakan pada dunia melalui tulisan ini. Dan meski jendul dan pesek ini masih melekat, tapi aku bersyukur kepada Tuhan karena masih punya hidung dan jidat, dan terlahir sebagai anak perempuan.
No comments:
Post a Comment